Pages

Khitbah / Lamaran / Meminang

Postingan kali ini akan membahas tentang fiqih seputar lamaran atau meminang. Sedangkan, kalau dalam bahasa Arab disebutnya khitbah.

KONTEN:


DEFINISI KHITBAH

Dalam kitab Al-Khitbah Ahkam wa Adab karya Syaikh Nada Abu Ahmad hal. 1, pada bab Definisi Khitbah, diterangkan pengertian syar’i (al-ma’na asy- yar’i) dari khitbah sebagai berikut.
“[Khitbah adalah] permintaan menikah dari pihak laki-laki yang mengkhitbah kepada perempuan yang akan dikhitbah atau kepada wali perempuan itu.” (Mughni Al-Muhtaj, 3/135).

Dalam buku Fikih Munakahat. Hlm: 146 karya Drs. Beni Ahmad Saebani:
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara seseorang yang dipercayainya. Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khitbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khitbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.

Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily  menjelaskan yang dimaksud Khitbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.

Khitbah secara bahasa sering diterjemahkan dengan pinangan atau lamaran. Akar katanya di dalam Bahasa Arab adalah berasal dari huruf kho’, tho’ dan ba’ yang bermakna berbicara. Dari akar kata yang sama pula diambil kata khutbah, yang bermakna pembicaraan yang dilakukan oleh seorang juru dakwah, pada Hari Jum’at atau yang lainnya. Sedangkan khitbah ini ketika diucapkan, maka konotasinya adalah pembicaraan yang memiliki makna khusus, yang maknanya adalah pembicaraan untuk melakukan permohonan restu kepada seorang wanita atau walinya untuk menikahinya.

Khitbah merupakan jalan untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain. Khitbah bukanlah janji dan tidak bisa dimasukkan dalam janji.



HUKUM KHITBAH

Hukum menurut Al Qur’an: 

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah: 235)

Ayat ini jelas menyebutkan kata khitbah. Pada ayat ini Allah membolehkan seorang laki-laki untuk meminang secara sindiran kepada wanita yang ditinggal oleh suaminya. Jika ini diperbolehkan, maka meminang wanita yang belum memiliki suami adalah lebih diperbolehkan.

Sedangkan menurut hadits, hukum tentang khitbah adalah: 

“Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah bersabda: jika seseorang meminang perempuan, maka jika mampu hendaknya ia melihatnya sehingga ia menginginkan untuk melihatnya, maka lakukanlah sehingga engkau melihatnya sesuatu yang menarik untuk menikahinya maka nikahilah” (HR. Ahmad (III/334, 360), HR. Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165))

Memang terdapat dalam Al Qur’an dan banyak hadits Nabi yang membicarakan tentang peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk mengadakan pernikahan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al Qur’an maupun dalam hadits Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang mewajibkannya. Mayoritas ulama' mengatakan bahwa khitbah hukumnya mubah (boleh). Khitbah bukanlah bagian/termasuk dari pernikahan, melainkan hanya langkah awal menuju tali pernikahan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa khitbah itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.



SYARAT MELAKUKAN KHITBAH

1. Syarat Mustahsinah

Syarat mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan melamar seorang perempuan agar ia meneliti lebih dahulu perempuan yang akan dilamarnya itu. Sehingga, dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang wajib dipenuhi, tetapi hanya berupa anjuran dan kebiasaan yang baik.

Yang termasuk syarat mustahsinah itu adalah:
  • Perempuan yang akan dilamar hendaklah sejodoh dengan laki-laki yang meminangnya, seperti sama kedudukannya, sama-sama baik rupanya, sama dalam tingkat sosial ekonominya, dan sebagainya.
  • Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang mempuanyi sifat kasih sayang dan mampu memberikan keturunan sesuai dengan anjuran Rasulullah saw.
  • Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang jauh hubungan darah dengan laki-laki yang akan melamarnya. Islam melarang laki-laki menikahi seorang perempuan yang sangat dekat hubungan darahnya.
  • Hendaknya laki-laki mengetahui keadaan-keadaan jasmani, budi pekerti, dan sebagainya dari perempuan yang akan dilamar.


2. Syarat Lazimah

Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum proses melamar atau khitbah dilakukan. Sahnya lamaran bergantung kepada adanya syarat-syarat lazimah.

Syarat lazimah tersebut adalah:
  • Perempuan yang akan dilamar tidak sedang dilamar laki-laki lain. Apabila sedang dilamar laki-laki lain, maka laki-laki tersebut telah melepaskan hak pinangnya sehingga perempuan dalam keadaan bebas.
  • Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” (HR. Bukhari (no. 5142) dan HR. Muslim (no. 1412))
  • Perempuan yang akan dilamar tidak dalam masa iddah. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang perempuan yang ditalak suaminya. Haram hukumnya melamar perempuan yang sedang dalam masa iddah talak raji’i.
  • Perempuan yang akan dilamar hendaklah yang boleh dinikahi. Artinya, perempuan tersebut bukan mahrom bagi laki-laki yang akan melamarnya.
  • Perempuan yang akan dilamar tidak sedang dalam ikatan akad pernikahan dengan laki-laki lain. Karena islam tidak menghalalkan poliandri.

(Back)


TATA CARA KHITBAH

Khitbah sebaiknya dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali jika ada takdir Allah yang menghendaki lain.

Yang Mulai Mengkhitbah (Melamar)

Seorang laki-laki boleh mengkhitbah secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini.

‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh: “Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari)

Sedang dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan melalui walinya, adalah hadits riwayat Urwah bin Az-Zubair RA, dia berkata:

“Bahwa Nabi SAW telah mengkhitbah ‘Aisyah RA melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq RA…” (HR.Bukhari)

Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk mengkhitbah seorang laki-laki agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004: 56). Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:

Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk. (HR.Bukhari)



Cara Menyampaikannya (ada 2)

1.  Secara langsung / terang-terangan (tashrih), yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu, kecuali untuk peminangan, seperti ucapan, “saya berkeinginan untuk menikahimu”. Wanita yang masih ada dalam iddah talak bai’in atau iddah di tinggal mati suaminya, tidak boleh dinyatakan secara langsung / terang-terangan. Pinangan kepada mereka hanya boleh dinyatakan secara sindiran saja. Jika masa iddahnya telah berlalu, maka boleh melamarnya secara langsung / terang-terangan.
2.  Secara tidak langsung (ta’ridh), yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah / sindiran. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti ucapan: “Tidak ada orang yang tidak sepertimu”, adapun sindiran selain ini yang dapat dipahami oleh wanita bahwa laki-laki tersebut berkeinginan menikah dengannya, maka semua diperbolehkan. Diperbolehkan juga bagi wanita untuk menjawab sindiran itu dengan kata-kata yang berisi sindiran juga. Perempuan yang belum kawin atau yang sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan sindiran atau secara tidak langsung.
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, oleh karena itu janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka dengan secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (Al Baqarah: 235)



Yang Boleh Dilakukan Ketika Dalam (Masa) Khitbah

1.    Sang peminang boleh melihat calon istrinya dengan berniat benar-benar ingin menikahinya, yang boleh dilihat pada waktu meminang adalah wajah dan telapak tangannya calon istri, sebab wajah adalah pancaran jiwa, sedangkan kedua telapak tangan biasanya menunjukan kebersihan tubuh dan kesuburannya. Kebolehan melihat calon tidak hanya berlaku bagi pihak laki-laki saja, pihak perempuan juga boleh melihat, bahkan mengamati laki-laki yang meminagnya. Tetapi keduanya tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk diperlihatkan.

“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” (HR. Ahmad (III/334, 360), HR. Abu Dawud (no. 2082) dan HR. Hakim (II/165))
“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” (HR. Tirmidzi (no. 1087))

2.    Diperkenankan bercakap-cakap dengan calon istri selagi tidak menjurus kemaksiatan. Tidak diperkenankan untuk berjabat tangan dengan calon istri dalam keadaan bagaimanapun, sebab calon istri adalah “wanita asing” sebelum adanya akad nikah.
3.  Sang peminang dengan yang dipinang tidak diperkenankan berdua-duaan, namun harus ada mahramnya juga. Sebab islam mengharamkan pertemuan seorang laki-laki dan perempuan (bukan mahramnya) secara berduaan.



Shalat Istikharah
Apabila seorang laki-laki telah melihat wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo’a seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya.

Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur’an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a:
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘…di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.’” (HR. Bukhari (no. 1162), HR. Abu Dawud (no. 1538), HR. Tirmidzi (no. 480))
Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Tatkala masa ‘iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’ Zaid berkata, ‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan meminangmu.’’ Zainab berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku meminta pilihan yang baik kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya. Lalu turunlah ayat Al-Qur’an dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan langsung masuk menemuinya.” (HR. Muslim (no. 1428 (89))

Imam an-Nasa’i rahimahullaah memberikan bab terhadap hadits diatas dengan judul “Shalaatul Marhidza Khuthibat wastikhaaratuha Rabbaha” (Seorang Wanita Shalat Istikharah ketika Dipinang)



BATASAN WAKTU KHITBAH

Khitbah dilakukan sebelum berlangsungnya akad nikah. Adapun mengenai batas waktu khitbah, yaitu jarak waktu khitbah dan akad nikah, sejauh ini, tidak ada satu nash pun baik dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah yang menetapkannya. Baik tempo minimal maupun maksimal. (Yahya Abdurrahman, Risalah Khitbah, hal. 77). Dengan demikian, boleh saja jarak waktu antara khitbah dan akad nikah hanya beberapa saat, katakanlah beberapa menit saja. Boleh pula jarak waktunya sampai hitungan bulan atau tahun. Semuanya dibolehkan, selama jarak waktu tersebut disepakati pihak laki-laki dan perempuan.

Namun para ulama’ cenderung menyatakan semakin cepat menikah adalah semakin baik. Sebab jarak yang lama antara khitbah dan akad nikah dapat menimbulkan keraguan mengenai keseriusan kedua pihak yang akan menikah, juga keraguan apakah keduanya dapat terus menjaga diri dari kemaksiatan seperti khalwat dan sebagainya. Keraguan semacam ini sudah sepatutnya dihilangkan, sesuai sabda Rasulullah SAW,

“Tinggalkan apa yang meragukanmu, menuju apa yang tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi dan HR. Ahmad)



MEMBATALKAN KHITBAH

Dalam islam, membatalkan lamaran adalah sah-sah saja, sebab khitbah (lamaran) hanyalah permintaan / pengantar menuju pernikahan, bukan akad, bukan janji. Sehingga, lamaran itu bisa diputus kapan saja.

Sementara itu adat berkembang di Indonesia, ketika dilangsungkan lamaran, biasanya membawa barang-barang tertentu sebagai pengikat, bahkan ada yang telah memberikan sebagian mahar. Jika begitu apa yang harus dilakukan jika dibatalkan lamaran? Jika diberikan itu adalah bagian dari mahar maka ia harus dikembaliakan. Mahar baru boleh dimiliki setelah terjadi akad nikah. Sebelum itu mahar masih menjadi milik laki-laki.

Sedangkan jika barang-barang yang diberikan itu hanyalah hadiah untuk mempererat hubungan diantara kedua belah pihak, maka ia sama hukumnya dengan hibah. Dan itu tidak boleh diambil lagi, kecuali atas keridhoaannya. Barang yang diberikan itu telah masuk kedalam hak kepemilikan pihak perempuan. Tentang hal ini Rasulullah bersabda:

“Tidak halal bagi seseorang untuk memberi sesuatu atau menghibahkan sesuatu, lalu mengambilnya kembali. Kecuali seorang ayah terhadap apa yang telah diberikan kepada anaknya.” (HR. Abu Dawud no. 3539)

Dalil-dalil yang menunjukkan mubahnya membatalkan khitbah (lamaran):

Dari Al A’raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya.” (HR. Bukhari)

Lafadz ”hingga ia menikahinya atau meninggalkannya“ menunjukkan orang yang telah mengkhitbah (meminang) wanita punya dua pilihan sesudah pinangan tersebut diterima: melanjutkan dengan akad nikah atau meninggalkan pinangannya. Jika dia memilih meninggalkan pinangannya maka hal itu bermakna dia membatalkan pinangan. Pembatalan pinangan dalam hadis ini tidak disertai lafadz dari Rasulullah yang mengesankan ancaman dosa atau sekedar celaan. Oleh karena itu membatalkan  pinangan hukumnya mubah, bukan makruh apalagi haram.

Ali pernah melamar seorang wanita, kemudian membatalkan pinangannya. Bukhari meriwayatkan:

Dari Az Zuhriy berkata, telah bercerita kepadaku ‘Ali bin Husain bahwa Al Miswar bin Makhramah berkata; “‘Ali pernah meminang putri Abu Jahal, lalu hal itu didengar oleh Fathimah. Maka Fathimah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata; “Kaummu berkata bahwa baginda tidak marah demi putri baginda. Sekarang ‘Ali hendak menikahi putri Abu Jahal”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan aku mendengar ketika beliau bersyahadat bersabda: “Hadirin, aku telah menikahkan Abu Al ‘Ash bin ar-Rabi’ lalu dia berkomitmen kepadaku dan konsisten dengan komitmennya kepadaku. Dan sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari diriku dan sungguh aku tidak suka bila ada orang yang menyusahkannya. Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan putri dari musuh Allah pada satu orang laki-laki”. Maka ‘Ali membatalkan pinangannya. (HR. Bukhari)

Kebolehan membatalkan bersifat mutlak, karena lafadz hadits- hadits di atas tidak diikat kondisi tertentu untuk menunjukkan kebolehan pembatalan tersebut. Jadi, pembatalan khitbah (lamaran / pinangan) baik dengan alasan maupun tanpa alasan hukumnya tetap mubah tanpa ada celaan. Alasan pembatalan pinangan tidak mempengaruhi status hukum dan tidak dipertimbangkan.



HIKMAH / MANFAAT KHITBAH

Beberapa hikmah dari prosesi khitbah / peminangan, diantaranya:
a. Sebagai wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
b.  Sebagai penguat ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW bersabda pada seseorang yang telah meminang perempuan:

“Lihatlah perempuan tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” (HR. Tirmidzi (no. 1087)



KEBIASAAN MASYARAKAT YANG KELIRU

1. Tukar Cincin Ketika Khitbah / Lamaran / Peminangan

Dalam masyarakat pada umumnya, terdapat budaya khitbah / lamaran / peminangan dengan tukar cincin. Sebenarnya ini merupakan budaya barat, warisan kaum nasrani, yang bertentangan dengan islam maupun budaya timur.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Tradisi ini juga akan membuka pintu maksiat, yaitu banyaknya lelaki yang memakai cincin dari emas. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas melarang hal ini. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (kaum lelaki) memakai cincin emas (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Dari Ibnu Abbas, “Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat cincin emas pada jari seorang sahabat. Kemudian beliau melepasnya dan membuangnya, sambil bersabda, ‘Kalian sengaja mengambil bara api neraka lalu kalian letakkan di tangan kalian?’ Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi, ada orang yang berkata kepada pemakai cincin tadi, ‘Ambil cincinmu dan manfaatkan untuk hal yang lain.’ Sahabat ini mengatakan, ‘Tidak! Demi Allah, aku tidak akan mengambilnya selamanya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuangnya.'” (HR. Muslim dan Thabrani)
Dari Abdullah bin Amr, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang sahabat memakai cincin emas, kemudian beliau berpaling darinya (tidak mau menyapanya). Kemudian, orang ini melepas cincin emasnya dan diganti dengan cincin besi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Ini lebih jelek. Ini perhiasan penghuni neraka.” Kemudian, dia melepasnya, dan digantinya dengan cincin perak, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendiamkannya. (HR. Ahmad dan Bukhari dalam Adabul Mufrad; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Bagi laki-laki, cincin emas memang dilarang, tapi bagi perempuan, cincin emas boleh digunakan.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dibolehkan bagi para wanita yang telah menikah dan selainnya untuk mengenakan cincin perak sebagaimana dibolehkan cincin emas bagi mereka. Hal ini termasuk perkara yang disepakati oleh para ulama dan tidak ada khilaf di dalamnya.” (Al Majmu’, 4: 464)

Kembali ke topik mengenai tukar cincin ketika khitbah, yang lebih kelirunya lagi, apabila meyakini bahwa tukar cincin bisa melanggengkan hubungan suami-istri, sehingga masing-masing berusaha mempertahankan cincinnya, jangan sampai hilang, sekalipun masuk ke sumur harus diambil, meskipun bisa merenggut nyawa, jika cincin ini sampai hilang bisa mengancam keutuhan hubungan keduanya, dan seterusnya, maka keadaannya semakin parah dan dosanya lebih besar. Dengan menambahkan keyakinan seperti itu, berarti seseorang telah mengambil sebuah sebab yang pada asalnya bukanlah sebab. Juga cendrung mendekati syirik. Karena tidak terdapat satu pun dalil yang menunjukkan bahwa tukar cincin bisa menjadi sebab keutuhan rumah tangga. Ini, tidak lain, hanya sebatas mitos yang tersebar di masyarakat.


2. Bebas Bergaul Dengan Calon Setelah Lamaran

Pada umumnya, kalau sudah melangsungkan lamaran dan telah direstui oleh kedua pihak keluarga, mulai saat itu, mereka jadi lebih bebas bergaul dengan calonnya. Dalam islam hal ini tidak dibenarkan, karena baru lamaran belum menikah. Belum terikat dengan akad pernikahan. Disisi lain, lamaran / khitbah belum tentu berakhir dengan pernikahan, masih mungkin terjadi pembatalan khitbah.

Di atas, di bagian TATA CARA KHITBAH (Yang Boleh Dilakukan Ketika Dalam (Masa) Khitbah) juga sudah dicantumkan bahwa:
  • “Diperkenankan bercakap-cakap dengan calon istri selagi tidak menjurus kemaksiatan. Tidak diperkenankan untuk berjabat tangan dengan calon istri dalam keadaan bagaimanapun ...”
  • Sang peminang dengan yang dipinang tidak diperkenankan berdua-duaan, namun harus ada mahramnya juga ...”

* * * *

Allahu a'lam. Semoga bermanfaat ^^


SUMBER REFERENSI