Suatu hari seorang filsof melakukan sebuah perjalanan jauh. Ini sudah menjadi kebiasaan para filsof pada zaman dahulu yang suka melakukan pengembaraan untuk mendapatkan hikamh atau kearifan, ataupun sebaliknya, mengajarkan hikmah dan kearifan. Salah satu prinsip yang dipegang oleh para filsof adalah meningkatkan tempat kelahiran dan mencari hikmah dan kearifan. Inilah hidup yang dianggapnya sebagai sebuah kehormatan.
Kali ini sang filsof bepergian dengan menaiki sebuah kapal. Di dalam kapal dia berkenalan dengan seorang nahkoda. Mereka pun kemudian terlihat sangat akrab. Mereka saling bertukar pengetahuan tentang hal-hal yang mereka ketahui. Percakapan pun berlangsung.
“Apakah tuan nahkoda pernah belajar filsafat?” Tanya filsof.
“Tidak pernah,” sahut sang nahkoda.
“Tuan telah kehilangan separuh dari kehidupan tuan,” balas sang filsof.
Dari raut mukanya, sang filsof sangat menyayangkan sang nahkoda yang tidak pernah belajar filsafat. “Alangkah meruginya orang-orang seperti sang nahkoda itu,” gumam sang filsof.
Hari demi hari kapal terus maju menembus ombak. Hari terasa cepat berlalu. Sepanjang perjalan, sang filsof menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku filsafat yang dibawanya. Kalau sudah merasa lelah, sang filsof mendekat sang nahkoda kemudian bercakap-cakap.
Hingga pada suatu hari, hujan deras mengguyur. Langit hitam pekat. Petir bersahutan. Kilat berkilauan membelah gelap. Tiba-tiba air mulai mengenai kapal. Sepertinya kapal akan karam, tidak kuat menahan gempuran ombak. Hujan terus menerpa. Angin terus berhembus.
Kemudian sang nahkoda pun menuju ke kamar sang filsof. Sang filsof sepertinya dicekam rasa takut karena keadaan menghawatirkan. Hujan deras dengan angin kencang dan ombak yang garang. Ketika sang nahkoda berhasil mendekati sang filsof di kamarnya, kemudian dia bertanya “Apakah tuan filsof pernah belajar berenang?” Sang filsof yang dicekam cemas hanya bisa menggelengkan kepala.
“Tuan, bila tuan tidak bisa berenang, maka tuan akan kehilangan seluruh hidup tuan!” komentar sang nahkoda dengan suara perlahan. Sang filsof yang masih memegangi buku menjadi ketakutan.
Sang filsof yang selalu mengandalkan pada keterampilan logika dan pikiran juga menyadari kalau filsafat hanyalah suatu alat untuk mencari kebenaran, bukan segalanya. Maka ketika dia berpikir bahwa selain filsafat itu tidak berguna, dia sedang membuat kesalahan.
Dalam islam, sumber-sumber kebenaran tidak hanya didasarkan pada akal semata, tetapi juga hati dan wahyu. Hati bisa menyingkap kebenaran yang tidak dapat diraih dengan akal pikiran.
Sumber: “Thursina Singkat dan Bermakna” oleh Tim Rohis SMA Negeri 28