Pada zaman dahulu, di kota Madinah pernah hidup seorang ibu yang shalehah. Hari-harinya penuh dengan kegiatan ibadah dan amal shaleh. Sang ibu memiliki seorang anak yang nakal. Berlainan dengan ibunya, sang anak mengisi hari-harinya dengan bermain dan keluyuran tidak tentu arah. Bersama kawan-kawannya, sang anak pun sering berbuat maksiat.
Walaupun demikian, sang ibu tetap sabar dan tidak bosan untuk menasihati sang anak agar sadar dan mau meniti jalan kebaikan. "Putraku, ingatlah tentang bencana yang menimpa orang-orang sebelummu yang lupa diri dan tidak mau sadar untuk kembali ke jalan yang benar. Sadarlah Nak. Apa jadinya bila engkau terus-menerus seperti ini, menganggur, keluyuran tidak tentu tujuan. Engkau akan mati kelak. Bagaimana engkau akan mempertanggungjawabkan perbuatanmu? Ubahlah kebiasaan burukmu itu, wahai Putraku!"
Hampir setiap hari, dengan penuh kesabaran dan kelembutan, ia menasihati sang anak. Namun sang anak belum juga kunjung sadar.
Suatu hari, di bulan suci Ramadhan, datanglah seorang da'i dari negeri Hijaz bernama Abu Amir al-Bannan. Kedatangan sang da'i sendiri adalah atas undangan pengurus Masjid Rasulullah saw. untuk mengisi pengajian. Pengajian itu digelar seusai shalat tarawih, dihadiri masyarakat sekitar, termasuk si anak nakal itu.
Abu Amir menggunakan metode tabsyir dan tanzir dalam ceramahnya. Yaitu membawa kabar gembira dan ancaman. Dari menit ke menit ia berbicara hingga menggugah hati hadirin dan menyentuh jiwa mereka. Sesekali mereka terlihat tegang, dicekam rasa takut akan pedihnya siksa neraka. Sesekali mereka tenang, gembira, penuh rasa rindu dan harap akan dapat masuk surga yang penuh dengan kenikmatan.
Dan ternyata, nasihat itu pun menyentuh hati si anak nakal. Sepulangnya dari pengajian, ia menangis di hadapan ibunya. Air mata penyesalan membasahi kedua matanya. Sejak itulah, ia mulai rajin shalat dan tekun beribadah.
Pada suatu sore, sang ibu mendatanginya, membawa hidangan untuk berbuka puasa. Tetapi ia menolak untuk berbuka seraya berkata, “Ibu, hari ini aku merasa tidak enak badan. Nampaknya aku mengalami panas dingin. Barangkali ajalku sudah dekat,” katanya.
Sambil berkata begitu, ia beranjak menuju mihrabnya, sementara lidahnya tak henti-hentinya melantunkan zikir. Keadaan itu berlangsung hingga empat hari lamanya.
Pada hari keempat sakitnya, ia duduk bersimpuh menghadap kiblat, menengadahkan tangannya ke hadirat Allah swt. “Duhai Allah, dahulu ketika badanku masih sehat dan tenagaku masih kuat, kulakukan maksiat. Aku lalai dari mengingat-Mu. Sekarang, di kala tubuhku lemah, dalam keadaan seperti inilah aku tekun beribadah dan datang menghadap-Mu.”
“Wahai Tuhanku, perbuatanku ini tentu membuat-Mu marah dan benci. Namun, ya Tuhanku, terimalah diri hamba-Mu ini.”
Setelah lama bermunajat, ia pun terkulai lemah. Melihat kondisi anaknya, sang ibu segera berlari menghampirinya. “Wahai buah hatiku,” serunya, “Wahai pelita hatiku, bangunlah dan jawablah panggilan ibumu ini!”
Ibunya menggoyang-goyangkan badannya yang terkulai lemah. Tak berapa lama kemudian, ia pun kembali sadar. Melihat sang ibu di sisinya, ia pun berkata “Ibuku, dahulu engkau sering menasihatiku agar aku sadar dan kembali ke jalan yang benar. Ibu menakuti aku dengan neraka dan murka Allah. Betapa aku sesali hari-hariku yang telah lalu, yang hampa dari zikrullah. Aku takut, Bu. Aku takut bila diriku lama berada dalam neraka. Ibuku, cukuplah. Bangunlah! Akan kucium kakimu supaya aku dapat merasakan kehina-dinaan. Semoga Allah Ta’ala merahmatiku!”
Sang ibu kemudian bangkit, memenuhi permintaan anaknya yang tercinta. Anak itu lalu berkata, “Inilah balasan bagi orang yang berkelakuan buruk dan lupa kepada Allah.” Setelah berkata begitu, tubuhnya kembali terkulai. Tubuhnya rebah ke tanah. Lalu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia meninggal dunia di sisi ibundanya tercinta.
Beberapa waktu kemudian, sang ibu berkisah, “Pada malam Jumat, aku bermimpi bertemu dengannya. Wajahnya bersinar seumpama rembulan purnama. Laluaku bertanya kepadanya ‘Anakku, apa yang dilakukan Allah terhadapmu?’.”
“Alhamdulillah Ibu, Allah membalasiku dengan kebaikan,” jawabnya.
“Lalu apa yang dialami Abu Amir?”
“Jauh Bu, jauh sekali perbedaannya. Siapakah diantara kita yang menyamai kedudukannya?” Subhanallah!
Sumber: “Ia Masuk Surga, Padahal Tak Pernah Shalat” karya Badiatul Muchlisin Asti
0 comments :
Post a Comment